BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Akhlak bukanlah sekedar sebuah wacana,
melainkan merupakan amal nyata, bukan sekedar teori dan konsepsi, melainkan
merupakan sebuah praktek dan amaliah permanen yang mendarah daging dalam
sikap,perilaku,dan kehidupan sehari-hari.
Kata akhlak berasar dari kata
al-akhlaqu(Bahasa Arab), bentuk jama’ dari kata al-khuluqu atau khuluqun,yang
berarti tabi’at,kelakuan,perangai,tingkah laku,karakter,budi pekerti, dan adat
kebiasaan.
Akhlak menyangkut masalah kehidupan
yang berkaitan dengan ketentuan-ketentuan dan ukuran-ukuran benar atau salahnya
suatu perbuatan. Perbuatan itu dapat berupa perbuatan lahir ataupun perbuatan
batin, yang menyangkut diri pribadi atau yang berkaitan dengan orang lain dan
alam. Akhlak juga berkaitan dengan ajaran bagaimana seharusnya manusia dapat
bertindak dengan baik dan benar sehingga ia dapat mengukur ukuran moralitasnya (Rachmat
Djatnika, 1987:25).
Akhlak menepati posisi yang sangat
penting dalam islam. Pentingnya kedudukan akhlak, dapat dilihat dari berbagai
sunah qauliyah (sunah dalam bentuk perkataan) Rasulullah. Diantaranya adalah, “
Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak” (Hadis Rawahu Ahmad).
Menurut KH Muh.Munawwar Affandi
(2002,2004), memasuki islam secara kaffah adalah dengan mengislamkan ke-4 unsur
manusia, yakni: raga,hati,roh, dan rasa. Pandangan ini sejalan dengan
Al-Qusyairi (Juhaya S. Praja, 1990: 149-150) yang mengemukakan adanya tiga alat
dalam tubuh manusia dalam hubungannya dengan allah yakni Qolb yang berfungsi
untuk mengetahui sifat-sifat Allah, Ruh yang berfungsi untuk mencintai Allah,
dan Sirr(rasa) yang berfungsi untuk melihat Allah.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah, maka
rumusan masalah dalam makalah ini adalah sebagai berikut.
a. Apakah
makna dari akhlak?
b. Apakah Persoalan
Baik dan Buruk dari akhlak?
c. Apakah
Pendidikan Akhlak untuk Mencapai Martabat Insan Kamil?
d. Apakah
Riyadhoh untuk Mencapai Martabat Insan Kamil?
e. Apakah
Prinsip-Prinsip Akhlak?
1.3. Tujuan
Adapun tujuan makalah ini
adalah untuk:
a. Memahami makna akhlak
b. Merujuk
akhlak baik dan buruk hanya dari Allah dan RasulNya
c. Mengetahui
tujuan pendidikan akhlak untuk mencapai martabat insan kamil
d. Mengetahui
tahap-tahap riyadhoh untuk mencapai
martabat insan kamil
e. Mengetahui
prinsip dari akhlak
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Landasan Teori
2.1.1 Makna Akhlak
Akhlak bukanlah sekedar sebuah wacana,
melainkan merupakan amal nyata, bukan sekedar teori dan konsepsi, melainkan
merupakan sebuah praktek dan amaliah permanen yang mendarah daging dalam sikap,perilaku,dan
kehidupan sehari-hari.
Kata akhlak berasar dari kata
al-akhlaqu(Bahasa Arab), bentuk jama’ dari kata al-khuluqu atau khuluqun,yang
berarti tabi’at,kelakuan,perangai,tingkah laku,karakter,budi pekerti, dan adat
kebiasaan. Dalam uraian dimuka telah disebut komponen (utama) agama islam:
akidah,syari’ah dan akhlak. Penggolongan itu didasarkan pada penjelasan nabi
muhammad kepada malaikat jibril didepan para sahabatnya mengenai arti
iman,islam,dan ihsan yang ditanyakan jibril kepada beliau.
Perkataan akhlak dalam etimologis
bersangkutan dengan cabang ilmu bahasa yang menyelidiki asal-usul kata serta
perubahan-perubahan dalam bentuk dan makna, antara lain berarti budi pekerti
atau ta’biat (Rachmat Djatnika, 1987:25). Kata akhlak digunakan Al-Quran untuk
memuji ketinggian akhlak Rasulullah: Wa
innaka la’alla khululukin ‘azhim =Seseungguhnya
kamu mempunyai akhlak yang tinggi (Qs. 68/Al-Qalam:4). Kemudian dalam Qs.33/Al-Ahzab
ayat 21 ditegaskan bahwa Rasulullah sebagai figur teladan: Laqod kana fi rasulillah uswatun hasanatun =Sungguh pribadi Rasulullah Itu merupakan suri tauladan bagi orang yang
berkehendak kembali kepada allah, menyakini Hari Akhir, dan banyak berzikir.
Akhlak menyangkut masalah kehidupan yang
berkaitan dengan ketentuan-ketentuan dan ukuran-ukuran benar atau salahnya
suatu perbuatan. Perbuatan itu dapat berupa perbuatan lahir ataupun perbuatan
batin, yang menyangkut diri pribadi atau yang berkaitan dengan orang lain dan
alam. Akhlak juga berkaitan dengan ajaran bagaimana seharusnya manusia dapat
bertindak dengan baik dan benar sehingga ia dapat mengukur ukuran moralitasnya.
Sehingga dengan begitu ia dapat dikatakan manusia yang bermoral atau tidak,
berdasarkan kepada kaidah-kaidah moral yang telah ditetapkan oleh Islam.
2.1.2 Persoalan
Baik dan Buruk
Apakah term baik-buruk dan benar-salah
bersifat obyektif ataukah subyektif, absolut ataukah relatif,
dan universal atau persial? Bisakah manusia mengetahui
persoalan baik-buruk dan benar-salah atau hanya allah yang mengetahuinya.
Dalam alquran ditegaskan bahwa
manusia tidak bisa menentukan baik-buruk dan benar-salah:
Ùƒُتِبَ عَÙ„َÙŠْÙƒُÙ…ُ الْÙ‚ِتَالُ ÙˆَÙ‡ُÙˆَ ÙƒُرْÙ‡ٌ Ù„َّÙƒُÙ…ْ
ÙˆَعَسَÙ‰ Ø£َÙ† تَÙƒْرَÙ‡ُواْ Ø´َÙŠْئاً ÙˆَÙ‡ُÙˆَ Ø®َÙŠْرٌ Ù„َّÙƒُÙ…ْ ÙˆَعَسَÙ‰ Ø£َÙ† تُØِبُّواْ
Ø´َÙŠْئاً
ÙˆَÙ‡ُÙˆَ Ø´َرٌّ Ù„َّÙƒُÙ…ْ ÙˆَاللّÙ‡ُ ÙŠَعْÙ„َÙ…ُ ÙˆَØ£َنتُÙ…ْ لاَ
تَعْÙ„َÙ…ُونَ (البقرة: 216)
"Diwajibkan
atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci.
Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi
(pula) kamu me-nyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui,
sedang kamu tidak mengetahui."
(Al-Baqarah: 216)
Dalam (QS. Al-Baqarah 2 : 216),
kita tidak bisa mendeskripsi-kannya. Shalat khusyu’
dan sahun itu harus dideskripsikan
oleh allah. Sebab utamanya, ayat Al-Quran itu terdiri atas ayat-ayat yang
muhkamat (maknanya perintah-perintah dan larangan-larangan Al-Quran) dan mutasyabihat (samar-samar). Akhlak
islami, seperti yang telah dikemukakan diatas adalah keadaan yang melekat pada
jiwa manusia. Karena itu suatu perbuatan baru dapat diseebut pencerminan
akhlak, jika memenuhi beberapa syarat. Syarat itu antara lain:
1. Dilakukan
berulang-ulang.
2. Timbul
dengan sendirinya
Akhlak menepati posisi yang sangat
penting dalam islam. Pentingnya kedudukan akhlak, dapat dilihat dari berbagai sunah qauliyah (sunah dalam bentuk
perkataan) Rasulullah. Diantaranya adalah, “Sesungguhnya
aku diutus untuk menyempurnakan akhlak” (Hadis Rawahu Ahmad).
Hakekat beragama sebenarnya adalah
mentaati allah. Tapi karna allah itu Al-Ghaib
(tidak menampakkan diriNya dimuka bumi dan tidak mungkin mengajari secara
langsung kepada setiap manusia) maka allah lalu mengangkat wakilNya, yakni
Rasulullah. Akhlak adalah sikap yang melahirkan perbuatan dan tingkah laku
manusia. Karena itu, selain dengan akidah, akhlak tidak dapat diceraipisahkan
dengan syari’ah. Syari’ah mempunyai
lima kategori penilaian tentang perbuatan dan tiingkah laku manusia, disebut al-ahkam al-khamsah seperti yang telah
diuraikan dimuka. Kategori penilaian itu tidak hanya wajib dan haram, tetapi
juga sunnat, makruh, dan mubah atau ja’iz. Wajib dan haram, termasuk dalam kategori hukum
duniawi terutama, sedangkan sunnat,makruh
dan mubah termasuk dalam kategori
kesusilaan atau akhlak. Dalam garis besarnya, seperti telah disebut diatas,
akhlak dibagi dua. Pertama adalah akhlak terhadap Allah atau Khalik (Pencipta),
dan kedua adalah akhlak terhadap makhluk (semua ciptaan Allah).
Ayat-ayat Al-Quran berikut
menyebutkan iblis dan syetan sangat aktif membisikkan pandangan sesatnya kepada
manusia:
Pertama,
iblis bersumpah akan menciptakan pandangan yang baik kepada manusia, padahal
buruk (karena tidak sejalan dengan kehendak allah):
"Iblis
berkata: 'Ya Rabb-ku, oleh sebab Engkau telah memutuskan, bahwa aku sesat,
pasti aku akan menjadikan mereka memandang baik (perbuatan maksiat) di muka
bumi, dan pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya, "kecuali hamba-hamba
Engkau yang mukhlis di antara mereka'."(QS.
Al-Hijr 15: 39-40)
Ayat ini menjelaskan bahwa iblis
selalu menciptakan pandangan yang baik pada manusia,padahal menurut allah
buruk. Maksudnya, iblis selalu menggoda manusia sehingga manusia merasa
beriman, merasa saleh, merasa taat beragama, merasa berakhlak mulia, dan
perasaan-perasaan lainnya. Padahal menurut Allah adalah tidaklah beriman,
beragama yang salah, dan berakhlak buruk. Hanya orang yang sudah mencapai
tingkatan IKHLAS saja yang tidak tergoda oleh iblis. Orang ikhlas adalah
manusia yang sudah mencapai martabat
tinggi disisi Allah, diatas orang yang bertakwa,sedangkan orang yang bertakwa
diatas orang yang beriman. Orang yang ikhlas hanyalah sebagian kecil dari
orang-orang yang bertakwa,sedangkan orang yang bertakwa sebagian kecil dari
orang-orang yang beriman. Artinya, orang yang tidak dapat terpengaruh oleh
iblis itu sangat sedikit.
Kedua, syetan (dari
bangsa jin dan bangsa manusia) selalu membisik-bisikan pandangan sesatnya
kepada setiap manusia, yang dirasakan oleh manusia sebagai pandangan yang baik.
Sedangkan syetan itu merupakan musuh yang nyata (bukan musuh yang samar-samar)
bagi manusia.
Perintah masuk kedalam islam secara
‘keseluruhan’nya ditunjukan kepada orang-orang yang telah menyatakan dirinya
beriman (telah beragama islam). Artinya, orang yang sudah menyatakan beragama
islam harus masuk kedalam islam keseluruhannya,tidak sebagian-sebagian.
Ketiga, manusia
selain memiliki musuh yang eksternal (iblis beserta bala tentaranya syetan-jin
dan syetan-manusia) juga memiliki musuh internal, yakni nafsu yang selalu mendorong
untuk melakukan perbuatan buruk,tapi sebagaimana iblis merasakannya sebagai
sesuatu yang baik. Al-Quran menegaskan bahwa nafsu selalu mendorong kepada
perbuatan yang buruk, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh tuhan.
Keempat,
akibatnya sangat mengerikan. Karena memiliki keimanan yang keliru, maka
kebanyakan manusia sangat menyesal pada saat kematiannya.
2.1.3 Pendidikan Akhlak untuk Mencapai
Martabat Insan Kamil
Pendidikan akhlak tidak bisa dipisah
dari pendidikan manusia seutuhnya. Pendidikan akhlak justru diarahkan untuk
mencapai manusia seutuhnya, atau dalam islam,untuk mencapai martabat insan kamil (manusia sempurna). Insan
kamil adalah hamba allah yang mengamalkan islam kaffah. Menurut KH Muh.Munawwar
Affandi (2002,2004), memasuki islam secara kaffah adalah dengan mengislamkan
ke-4 unsur manusia, yakni: raga,hati,roh,
dan rasa. Pandangan ini sejalan dengan Al-Qusyairi
(Juhaya S. Praja, 1990: 149-150) yang mengemukakan adanya tiga alat dalam tubuh
manusia dalam hubungannya dengan allah yakni Qolb yang berfungsi untuk mengetahui sifat-sifat Allah, Ruh yang berfungsi untuk mencintai
Allah, dan Sirr(rasa) yang berfungsi
untuk melihat Allah. Demikian juga Sufi
Jawa, Pangeran Mangkunegoro IV (1811-1881 M), secara tersirat mengemukakan
adanya empat unsur manusia ketika menjelaskan tentang sembah (ibadah), yakni:sembah raga(ibadah
raga), sembah cipta(ibadah hati), sembah
jiwa (ibadah roh), dan sembah rasa(ibadah
rasa).(Muhammad Ardani, 1995).
Dengan
adanya pengajaran akhlak, manusia dapat dibersihkan jiwanya, ditingkatkan
derajat moral kemanusiaanya, dan dijauhkan dari dorongan-dorongan dan
kecenderungan-kecenderungan untuk melakukan tindakan yang dapat merugikan
dirinya, maupun merugikan orang lain.
Akhlak
merupakan misi inti dari setiap diutusnnya rasul ditengah-tengah suatu umat.
Rasul dan Nabi bertugas untuk mengingatkan manusia tentang akibat buruk yang
akan menimpa, jika seandainya manusia tetap melakukan tindakan yang tidak
terpuji yang cenderung bertujuan untuk memuaskan nafsu mereka saja. Oleh karena
itu, Nabi dan Rasul pilihan Allah, semuanya memilki akhlak yang terpuji dan
moralitas yang tinggi.
Uraian
keempat unsur manusia sebagai berikut:
a. Pertama,
jasad. Keberadaannya didunia dibatasi dengan
umur. Wujud nafsu manusia tidak lain adalah wujud jasad ini sebagai ujian, maka
oleh Allah diberi hati (yakni Hati Sanubari) yang wataknya persis seperti
iblis.
b. Kedua,
hati nurani. Letaknya tepat di tengah-tengah
dada. Tandanya deg-deg. Disebut juga dengan hati jantung. Hatinurani dijadikan
Allah dari cahaya, wataknya seperti malaikatNya Allah yang rela sujud(patuh dan
tunduk) kepada wakilNya Allah di bumi.
c. Ketiga
Roh, ada tujuh berlapis-lapis. Letaknya
didalam hati nurani. Roh adalah daya dan kekuatan tuhan yang dimasukkan kedalam
jasad manusia, lalu menandai dengan keluar-masuknya nafas, menjadi hidup
seperti kita didunia sekarang ini.
d. Keempat,
Sirr (rasa). Letaknya Ditengah-tengah roh yang
paling halus (paling dalam). Rasa inilah yang kembali ke akhirat. Rasa adalah
jati diri manusia.
Untuk
mencapai martabat insan kamil (hamba Allah yang dipanggil ke surgaNya) maka
manusia yang telah berwujud jiwa-raga haruslah mengalami proses taroqi (menaik) menuju Tuhan dengan
menundukan nafsu dan syahwat sekurang-kurangnya telah mencapai tangga nafsu muthmainnah, sebagaimana fimanNya:
"Hai jiwa
yang tenang, Kembalilah kepada Rabb-mu, dengan hati yang puas, lagi
diredhai-Nya, Maka masuklah ke dalam jama'ah hamba-hamba-Ku dan masuklah ke
dalam surga-Ku.” (QS. Al-Fajr 89 : 27-30)
Ayat ini dengan jelas menegaskan
bahwa nafsu muthmainnah merupakan
titik berangkat untuk kembali kepada tuhan. Tapi dengan modal nafsu muthmainnah
pun masih diperintah lagi oleh Allah untuk menaiki tangga nafsu diatasnya: rodhiyah,maradhiyah, hingga kamilah. Setelah itu Allah sendiri yang
akan menariknya (melalui fadhl dan rahmatNya) untuk mencapai martabat Insan
Kamil.
Ulama Sufi, antara lain imam Ghazali (1989), menjelaskan 7 macam
nafsu sebagai proses taroqi(menaik)
manusia menuju Tuhan, Yakni:
a. Nafsu Amarah,
dengan ciri-ciri: Sombong,iri-dengki,dendam,nuruti nafsu,serakah, dan
lain-lain.
b. Nafsu Lawwamah,
dengan ciri-ciri: Enggan, cuek, senang memuji diri,pamer,dusta, dan lain-lain.
c. Nafsu Mulhimah,
dengan ciri-ciri: Suka memberi,sederhana,menerima apa adanya,belas kasih, dan
lain-lain.
d. Nafsu Muthmainnah,
dengan ciri-ciri: senang beribadah, senang sodaqoh,mensyukuri nikmat dengan
memperbanyak amal, dan lain-lain.
e. Nafsu Rodhiyah,
dengan ciri-ciri: Pribadi yang mulia, zuhud, ikhlas,menepati janji, dan
lain-lain.
f. Nafsu Mardhiyah,
dengan ciri-ciri: bagusnya budi pekerti, berrsih dari segala dosa makhluk,dan
lain-lain.
g. Nafsu Kamilah,
dengan ciri-ciri: Ilmul-yaqin, ainul-yaqin, dan haqqul-yaqin.
Untuk
mencapai martabat insan kamil, maka nafsu kita seharusnya berada di level-7
(nafsu kamilah), tapi jangan diaku. Jangan diaku punya ‘ilmul-yaqin,’ainul yaqin, dan haqqul-yaqin. Kalau diaku tetap saja
nafsu yang dalam Qs. 12/Yusuf ayat 53 disebutkan sebagai : innan nafsa la-ammarotun bis-su-i (karena sesungguhnya nafsu itu
menyuruh pada kejahatan). Artinya,
nafsu kamilah sekalipun akan dinilai tuhan sebagai nafsu yang buruk(yang bisa
menghantarkannya ke neraka). Kecuali nafsu yang di rahmati Tuhan yaitu nafsu
yang bagus-bagus (mulhimah, muthmainnah,
radhiyah,mardhiyah dan kamilah) sebagai proses taroqi (menaik) karena ketaatannya kepada allah dan rasulNya, bukan
yang di-‘aku’ sebagai prestasi mujahadah,riyadhoh,
dan riyalat-nya.
2.1.4
Riyadhoh
untuk Mencapai Martabat Insan Kamil
Upaya untuk mencapai martabat insan
kamil hanyalah melalui riyadhoh(berlati teru menerus) menundukan nafsu dan
syahwat.
Ada
7 karakter ‘inti’ (sebagai dasar beragama) yang perlu dipersonalisasikan
melalui riyadhoh, yakni:
a.
Taubat.
Orang yang berada tahap ini selalu menuduh kepada dirinya sendiri bahwa dirinya
orang yang paling banyak berbuat dosa,paling banyak sendiri salah dan banyak
kekurangannya, paling apes, dan lain sebagainya. Rasa hati disini adalah tawadhu, handap asor,wira’i, dan
sekaligus menjaga akhlaqul-karimah.
b. Zuhud.
Orang yang berada tahap ini mempunyai kepedulian yang tinggi memajukan
lingkungannya (masyarakatnya dan bangsanya) tanpa pamrih.
c. Qona’ah.
Bukan hanya menerima pemberian dari Tuhan dengan senang hati seberapa pun
besarnya. Maksud qona’ah disini adalah seseorang yang kuat tekad dalam
membuktikan niatnnya mendekatkan diri kepada Allah sehingga sampai dengan
selamat bertemu denganNya.
d. Tawakkal ‘alallah.
Orang yang bertawakal akan menyerahkan segala urusannya kepada Allah,sehingga
pikirannya tidak difungsikan lagi.
e. Uzlah.
Yakni menyendiri di tengah-tengah kalangan. Maksudnya kalangan masing-masing
mereka berusaha keras untuk maju ke profesional dalam menyiapkan diri sebagai
SDM yang bermanfaat bagi kemajuan lingkungannya.
f. Mulazimatu Dzikr
(melanggengkan zikir). Maksudnya mengeluarkan
dari dalam hati ingatan kepada apa saja selain diriNya Ilahi Yang Al-Ghaib.
g. Sabar.
Yakni selalu dengan sadar dan rela memaksa jiwa-raganya sendiri hingga mau
melaksanakan perintah Allah dan RasulNya.
Secara
operasional, ke-7 karakter inti itu harus ditanamkan secara bertahap dan
berurutan sebagai berikut:
a. Menanamkan
taubat
b. Tetap
dalam kondisi taubat lalu berusaha Zuhud
c. Menanamkan
karakter qona’ah
d. Menanamkan
karakter tawakkal ‘alallah
e. Menanamkan
karakter Uzlah
f. Menanamkan
karakter Mulazimatu dzikr
g. Menanamkan
karakter Sabar
Dengan tertanamnya 7 karakter
‘inti’ maka otomatis segala karakter yang baik-baik akan tertanam pula.
Bersamaan 4 karakter ‘inti’ yang buruk yaitu, takabur,sum’ah,ujub,riya.
2.1.5
Prinsip-Prinsip Akhlak
Pendidikan akhlak tidak bisa dipisahkan
dari pendidikan manusia seutuhnya. Pendidikan akhlak justru ditujukkan untuk
membentuk manusia yang seutuhnya atau dalam Islam disebut sebagai Insan Kamil (manusia yang sempurna).
Insan Kamil adalah hamba Allah yang mengamalkan Islam secara kaffah dalam
hidupnya, yakni mematuhi perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya.
a. Prinsip-Prinsip
Akhlak Dalam Islam
Prinsip pokok
keunggulan akhlak islam dibandingkan yang lainnya adalah terletak pada hal-hal
berikut:
1. Moral
Force
Moral
force akhlak islam adalah terletak pada iman
sebagai internal power yang dimiliki oleh setiap orang mukmin yang berfungsi
sebagai motor penggerak dan motivasi terbentuknya kehendak untuk direfleksikan
dalam tata rasa, tata karsa, tata cipta dan tata karya yang konkret.
2. Landasan
pijakannya adalah : Iman, Islam, Ihsan.
a. Iman:
Istilah
iman adalah berasar dari bahasa arab, yaitu bentuk masdar dari kata kerjanya.
Iman dapat dipahami
sebagai sebuah keyakinan yang mendasari sikap, tidakan dalam perbuatan seorang mukmin,
sehingga iman itu dapat dijadikan sebagai tolak ukur kualitas pribadi
seseorang. Oleh karna itu, kualitas iman dapat di bagi tiga:
·
Iman yang dinamis
adalah iman yang peka dan responsif terhadap berbagai kasus moral
·
Iman yang conditional
adalah iman yang tidak stabil atau disebut iman yang pluktuatif
·
Iman yang pasif, yaitu
iman yang sangat lemah dalam merespons berbagai kasus akhlak.
b. Islam:
Secara etimologi kata islam dalam
bahasa Arab diambil dari bentuk masdar yang kata kerja (fi’ilnya).
Islam
ialah tunduk dan taat, yakni tunduk dan taat kepada perintah allah dan kepada
larangannya.
c. Ihsan:
Istilah ihsan adalah berbuat baik
atau perbuatan baik. Rasulullah menyatakan sabdanya bahwa ihsan ialah:
“Engkau
menyembah Allah seakan-akan engkau melihat-Nya, tetapi jika engkau tidak
melihat-Nya yakinlah bahwa dia selalu melihat engkau”
Jadi sesungguhnya ihsan itu
merupakan refleksi sikap dan keyakinan seseorang yang telah islam dan beriman.
Jadi disimpulkan ihsan adalah titik kulminasi dari sharing antara iman dengan
ikhsan.
3. Disiplin
Moral
Siapa
berbuat, dia yang bertanggung jawab. Prinsip akhlak islam siapa berbuat baik sekecil
apapun, maka dia akan menikmati hasilnya, sebaliknya sekecil apa pun kejahatan
yang dilakukan , dia pulalah yang mempertanggung jawabkan perbuatannya
4. Akhlak
Terhadap Alam (Makhluk Lain)
Di
alam ini banyak sekali makhluk atau hewan yang diciptakan Allah untuk
kepentingan dan kesejahteraan manusia. Jika kita kaji ajaran ihsan dalam islam,
moralitas yang dikehendaki bukan hanya terbatas pada bangsa manusia saja,
melainkan juga kepada hewan-hewan yang berkeliaran disekeliling kita.
5. Akhlak
terhadap sesama
a. Akhlak
suami dan istri
·
Menggauli istri dengan
sopan
·
Memberikan nafkah batin
·
Mencukupi nafkah lahir
·
Pandai menyimpan
rahasia sang istri
b. Akhlak
kepada orang tuanya
·
Patuh
·
Ihsan
·
Berkata halus dan mulia
kepada ayah dan ibu
c. Akhlak
individu dan masyarakat
Orang
yang berakhlak karena ketakwaan kepada tuhan semata-mata, maka dapat
menghasilkan kebahagiaan antara lain:
·
Mendapat tempat yang
baik di masyarakat
·
Akan disenangi orang
dalam pergaulan
·
Akan terpelihara dari
hukuman
·
Mendapat pertolongan
·
Mendapat perlindungan
dari segala penderitaan dan kesukaran
d. Agama
(hidayah diniyah)
Unsur-unsur
agama berdasarkan pengertian agama menurut para ahli teologi islam sesuai
dengan hadis jibril yang mengajar nabi tentang agama, adalah:
·
Iman,
akidah, tauhid
·
Islam,
ibadah, amal saleh
·
Ihsan,
tata cara ibadah
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dengan
adanya pengajaran akhlak, manusia dapat dibersihkan jiwanya, ditingkatkan
derajat moral kemanusiaanya, dan dijauhkan dari dorongan-dorongan dan
kecenderungan-kecenderungan untuk melakukan tindakan yang dapat merugikan
dirinya, maupun merugikan orang lain.
Pendidikan
akhlak tidak bisa dipisah dari pendidikan manusia seutuhnya. Pendidikan akhlak
justru diarahkan untuk mencapai manusia seutuhnya, atau dalam islam,untuk
mencapai martabat insan kamil (manusia
sempurna).
3.2 Saran
Semoga
dengan adanya makalah ini, Dengan Akhlak yang menyangkut masalah kehidupan yang
berkaitan dengan ketentuan-ketentuan dan ukuran-ukuran benar atau salahnya
suatu perbuatan. Perbuatan itu dapat berupa perbuatan lahir ataupun perbuatan
batin, yang menyangkut diri pribadi atau yang berkaitan dengan orang lain dan
alam. Sehingga dengan begitu kita dapat dikatakan manusia yang bermoral atau
tidak, berdasarkan kepada kaidah-kaidah moral yang telah ditetapkan oleh Islam.
DAFTAR PUSTAKA
Miskawaih,
Ibn (1994). Menuju Kesempurnaan Akhlak:
Buka Daras Pertama tentang Filsafat Etika. Terjemahan. Bandung: Mizan.
Amin,
Ahmad, Etika (Ilmu Akhlak), diterjemahkan
oleh K.H. Farid Ma’ruf. Jakarta: Bulan Bintang, 1988, cet. Ke-5.
Djatnika,
Rachmat, Sistem Ethika Islami (Akhlak
Mulia), Jakarta: Pustaka Panjimas, 1996, cet. Ke-2.
Ali,H.A.Mukti:
Memahami Beberapa Aspek Ajaran Islam, Bandung:
Mizan,1990.
0 komentar:
Posting Komentar